Buku

Dari Balik Lima Jeruji

Saya dapatkan buku ini bebarengan dengan CD Stay True milik Jeruji akhir Oktober 2016 lalu, karena 30 pre-order pertama akan mendapatkan buku bertemakan NAPZA —bertepatan dengan album mereka yang didedikasikan untuk para korban NAPZA. Buku ini bekerja sama dengan beberapa organisasi maupun komunitas yang concern terhadap isu-isu NAPZA —juga HIV/AIDS. Salah satunya, Rumah Cemara. Sebuah organisasi yang awalnya dibentuk oleh 5 pemuda mantan konsumen NAPZA ilegal, pada 2003 silam.

Apabila kalian bertanya-tanya tentang, apa itu NAPZA? Tak usah repot-repot membuka jendela baru, lalu mengkopi-tempel kata tersebut di mesin pencari. NAPZA adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lain. Bukan maksud saya memandang remeh pengetahuan pembaca, namun saya selalu berkaca apabila tulisan ini yang pertama kali membaca adalah teman-teman saya. Dan saya yakin tak banyak dari mereka yang paham apa itu NAPZA. Terlihat songong? Biarlah.

Ima, begitu penulis ini biasanya disapa. Ibu dengan satu orang anak ini menerjemahkan transkip wawancara (yang kemudian ia ubah menjadi latar cerita) dengan beberapa warga binaan di lima kota di Indonesia, yang merupakan hasil penelitian lapangan dari tim PKNI (Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia) berkolaborasi dengan beberapa komunitas lainnya tentunya. Jadi, kalian pasti sudah bisa menerka mengapa buku ini diberi judul Dari Balik Lima Jeruji bukan?

Ada lebih dari 5 narasumber warga binaan yang dijadikan rujukan Ima dalam buku ini, yang tentu semua namanya disamarkan. Ia terhitung berhasil menerjemahkan transkip wawancara dengan beberapa korban NAPZA ini, story-telling yang mengalir, sampai istilah-istilah hukum yang ia pergunakan dalam narasi ceritanya. Semua cerita yang ia sampaikan memiliki benang merah yang sama; para korban yang diperas para petugas kepolisian untuk negosiasi BAP, seharusnya para pengguna ini memiliki hak agar direhab, bukan malah masuk bui. Namun, kasus-kasus seperti ini sudah menjadi rahasia umum, apabila ada pengguna —bukan bandar— yang tertangkap basah mengkonsumsi NAPZA akan dijadikan komoditi oleh pihak kepolisian. Karena negosiasi untuk masuk rehab yang merupakan hak penuh para korban ini angkanya terlampau tinggi bagi kelas menengah ke bawah, mendekati angka 100 juta.

Kurangnya pengetahuan dasar-dasar hukum bagi para pengguna ini juga merupakan sebuah kelemahan, yang akan dengan gampangnya dimanipulasi oleh pihak aparat. Dan esensi penulisan buku ini bukanlah untuk mengajak orang memaklumi tindakan penggunaan NAPZA, tapi untuk membuka mata pembacanya tentang realita yang dialami pecandu dan pengguna NAPZA yang sedang menjalani proses peradilan dan hukum di Indonesia. Seperti kutipan prolognya.

Dan bagi saya pribadi, setelah membaca beberapa kasus dalam buku ini. Akhirnya saya sadar, mengapa harus menjauhi NAPZA. Karena saya buta hukum, dan tak memiliki banyak uang apabila tertangkap oleh aparat.

“Selama proses di Polres itu semuanya UUD dan KUHP. Ujung-ujungnya Duit dan Karena Uang Habis Perkara.” —Rajatta

UN-HLM-600x429
Suksma Ratri. Ketika jadi pembicara di depan forum PBB, sebagai perwakilan dari Coordination of Action Research on AIDS and Mobility (CARAM) wilayah Asia. (2008) -Mommies Daily-

Tinggalkan komentar