Buku

Setelah Boombox Usai Menyalak

  • Penulis : Herry Sutresna
  • Judul : Setelah Boombox Usai Menyalak
  • Rilis : 2016
  • Penerbit : Elevation Books
  • Halaman : 227

Menghela napas, lalu membuangnya dalam-dalam.

Saya tak yakin harus mengulas buku ini, ragu lebih tepatnya. Merasa tak memiliki kecermatan khusus untuk menyelami berbagai pokok bahasan di dalamnya, dan tak jarang terbawa arus yang ujungnya entah kemana. Sederhananya, gagal paham. Saya hirup napas berulang-ulang dan terus membuangnya. Mengingat-ingat detik awal yang akhirnya membuat saya tertarik terlalu dalam, tentang Herry Sutresna.

Dua tahun lalu, ketika seorang sahabat meminjamkan rilisan ke 7 milik Siksakubur. Langsung berputar di player yang saya beli dari pasar loak entah beberapa tahun yang lalu, juga rasa penasaran tentang materi baru SK yang belakangan bergejolak perihal banyaknya personil yang lalu-lalang. Dari mulai member orisinil, Prahari Mahardika yang digantikan Septian Maulana beberapa bulan setelah album konsep Tentara Merah Darah dirilis, sampai kemudian masuknya Rudi Harjianto menggeser posisi Septian. Berhubung motor penggeraknya masih orang yang sama (Andre Tiranda) saya pikir karakter instrumentasi SK masih aman-aman saja. Trek pertama dibuka dengan Kejam, masih dalam garis besar album sebelumnya, St. Kristo. Sampai kemudian saya menghadapi trek ke 7 berjudul Honay, disitu tertulis Morgue Vanguard. Anjiiiing siapa nih orang ?, pikir saya.

Semula saya yang dalam posisi terlentang sembari menikmati kegaduhan di ruangan kamar yang bahkan tidak muat dimasuki lebih dari lima orang, seketika terbangun dan buru-buru meneliti bukletnya. Sampai hari ini pun jikalau saya meminjam kembali CD tersebut, masih suka merinding bulu sekitaran tengkuk. Dan seperti kebanyakan pemuda lainnya, yang menuhankan google sebagai tempat pemberhentian terakhir dalam setiap pencarian. Kemudian menemukan Homicide diantara tumpukan artikel yang membelenggu nama Morgue Vanguard, sebuah grup Hip-Hop veteran Bandung yang sudah lama dipeti-eskan oleh membernya. Setelah tahu ia bagian dari skena Hip-Hop, saya tak begitu tertarik untuk terjerumus terlalu dalam. Tentang ketidaktertarikan dengan genre ini sebenarnya sejak demam Vanilla Ice menelusup di cakram-cakram padat milik kakak perempuan saya 90’an silam. Belakangan yang kemudian membuat saya teringat tentang beat State of Hate milik Homicide mengkopi mentah-mentah dari trek monumental, Ice Ice Baby. Sampai pada satu malam ada seorang kawan yang mengirimkan trek Siti Jenar Cypher Drive melalui media Whatsapp. Bingung dan super ragu apa musik seperti ini bisa disebut Hip-Hop ?. Kemudian beberapa bulan setelahnya saya unduh 2 album Homicide sekaligus, yang ujungnya membuat kepala & mata tidak terkontrol untuk beberapa saat. Kebingungan tentang bagaimana harusnya mengkonsumsi lirik yang bahkan saya tak begitu tertarik sebelumnya, boro-boro membicarakan aktivisme tentang keruntuhan orba saja saya tak pedulikan.

Saya jadi teringat perayaan 100 tahun Albert Camus yang di-shoot Sorge Magazine 3 tahun lalu, Kartika Jahja berujar: tulisan-tulisan Camus memiliki peran seperti jendela, yang membuka mata kalian untuk melihat dunia. Berhubung sampai detik ini saya belum membaca Camus, tentu saya akan memindahkan posisinya dengan Sutresna. Melalui dirinya saya melihat dunia yang memang sedang nampak tak baik-baik saja, bahkan ketika teman-teman di beranda facebook saya (saat ini) sedang fokus-fokusnya terhadap belahan jiwa yang tak kunjung jua datang.

Singkat cerita, hampir 2 tahun saya terus mempelajari (kalau bisa dibilang belajar sih) lirik-lirik Homicide yang tak sedikit memberikan clue bagaimana dunia ini sedang bergejolak, tentang tentara-tentara fasis yang berperan sebagai alat politik (boneka lebih tepatnya) sebuah negara. 4 bulan lalu saya setengah mampus untuk mereview The Necronomix Tape (30 Mins of Homicide Cuts Mixtape), bolak-balik ke berbagai bilik warnet yang sepi pengunjung hampir setiap hari dalam hitungan 1 bulan. Saya sadar, buku ini bukan menceritakan tentang kolektif Hip-Hop yang mampus 9 tahun lalu itu. Begitu pula saya sepenuhnya sadar, Homicide tak’kan pernah bisa terlepas dari peran Herry Sutresna sebagai otak penggeraknya. Meski tak jarang ia selalu berkilah Homicide bukan hanya tentang dirinya seorang.

Tak ada yang lebih membahagiakan ketika ”berhala” yang kalian puja bisa kalian genggam walau tak seutuhnya. Begitu pula dengan buku antologi ini, saya rela harus menanggalkan sejenak novel E.L. Doctorow dan juga analisa Muhamad Awan tentang rencana nuklir Israel yang ia tulis 6 tahun lalu. Demi melahap secepatnya Setelah Boombox Usai Menyalak.

Meski nyaris sebagian materinya sudah pernah saya baca di berbagai media, namun dengan alasan sederhana tentang berhala seperti diatas, ini waktu yang tepat untuk merayakannya. Ada beberapa bab yang menjadi favorit dalam antologi ini, diantaranya adalah Making Punk a Threat Again.

Pilihan mengidentifikasi diri dengan punk sudah seharusnya menjadi pilihan sadar. Dimana pilihan itu sudah seharusnya datang dengan konsekuensi yang sudah diperkirakan, dimana –layaknya sebuah pilihan­– harus dipertahankan oleh mereka-mereka yang yakin dengan pilihannya.

Berkat kutipan diatas, ajaibnya sampai saat ini saya tak pernah ambigu dalam menempatkan posisi ketika menggapai sebuah pilihan. Entah ujungnya akan berujung borok sekaligus. Tulisannya tentang Mixtape Boikot Bela Negara juga sangat menarik untuk disimak secara intens, meskipun secara personal saya lebih suka versi pertamanya ketika dimuat IndoProgress November lalu. Ketika kalimat “Perlu ada keterangan ?” akan lebih bermakna dibanding harus bertuliskan “Perlu ditambahi keterangan tambahan ?”. And maybe John Lennon will agree with this perception.

15 Album Hip Hop Paling Penting di Dekade Pertama 2000 juga tak kalah pentingnya. Meski agak berbeda dengan versi pertamanya di JakartaBeat 6 tahun yang lalu, namun ini pertama kalinya bagi saya untuk tidak merasa di-ninabobokan ketika ada seseorang meresensi album-album yang dianggapnya pamungkas —terlebih bisa mempengaruhi pembaca. Dalam perihal review saya selalu memutar posisi jempol tangan yang semula berada diatas lalu berubah drastis menempati posisi kebawah —bila menemukan tulisan yang selalu dihujani terminologi hiperbolik tanpa memberi penjelasan spesifik secara teknis. Melalui ulasan Ucok saya tak pernah menemukannya. Review pertama yang secara tegas menjelaskan kronologi sebuah album tanpa harus menurunkan tensi para pembaca, karena begitu banyaknya review di luaran sana yang menjelaskan album secara menggelora namun lupa akan intinya. Dan mungkin saya juga salahsatunya.

20160825_101746

«»

Kemudian tulisannya tentang pionir Napalm Death era album pertama, Justin Karl Michael Broadrick yang terinspirasi beberapa atmosfer Hip-Hop yang kemudian hari membentuk Godflesh pasca dirinya hengkang dari band yang saat ini digawangi Shane Embury tersebut. Bagi Ucok, Streetcleaner adalah debut Godflesh yang membuat Korn, Deftones sampai Tool berhutang karenanya. Dan sialnya saya yang mengaku sebagai metalhead dan pemerhati segala sub-genrenya, belum pernah mendengar nama Godflesh sebagai pionir band-band Industrial Metal. Sungguh menyedihkan.

Dan yang terakhir, tulisan paling belakang dalam buku ini —yang sebelumnya tidak pernah dipublikasi. Tentang band Punk asal Belanda, Rondos. Saya tidak akan membeberkan sedikitpun historikal band ini, hanya satu yang perlu kalian tahu bila sebelumnya tidak pernah mendengarkan mereka (seperti halnya saya). Tentang sampul album Red Attack milik Rondos yang beberapa dekade kemudian menginspirasi sampul album Homicide, “Illsurrekshun”.

Menghela napas, lalu membuangnya dalam-dalam.

20160826_150704

¤¤¤

*Terimakasih untuk bung Ucok yang membuat 2 tahun terakhir saya lebih bermakna dan tak pernah lagi sama seperti sedia kala, memberitahukan tentang dunia yang nampaknya baik-baik saja berubah kalut ketika membaca tulisannya. Dan untuk sahabat saya Dinda Bahtiar, kapan kita ke Solo din ?

Tinggalkan komentar